Minggu, 07 Februari 2016

TELUK BENOA DILINDUNGI 'BHATARA SESUHUNAN' PURA GAING-GAING: PENYAWANGAN PURA DALEM KARANG TENGAH

Kiriman tulisan dari peneliti lontar dan kawasan suci Hindu di Bali.

TELUK BENOA DILINDUNGI 'BHATARA SESUHUNAN' 
PURA GAING-GAING: PENYAWANGAN PURA DALEM KARANG TENGAH

CERITA rakyat yang diceritakan turun-temurun di masyarakat Tanjung dan masyarakat sekitar Teluk Benoa mengatakan bahwa ada pura gaib bernama Pura Karang Tengah berada di tengah Teluk Benoa. Beliau dipuja dan diacep namun belum ada penyawangan (bangunan fisik atau altar beliau). Tidak ada yang tahu pasti di mana tepatnya keberadaan Pura Dalem Karang Tengah.
Sekelompok masyarakat akhirnya mendirikan Pura Gaing-Gaing di Desa Tanjung untuk dijadikan panyawangan (pemujaan dari jauh atau dari darat) untuk Ida Sesuhunan (Sang Dewata) di Pura Dalem Karang Tengah yang berstana di dasar laut di Teluk Benoa.


'Awal mula berdirinya Pura Gaing-Gaing'
Jero Mangku Ketut Arsana yang merupakan pemangku di Pura Gaing-Gaing menceritakan bahwa salah satu leluhur beliau yang bermata pencaharian sebagai nelayan melihat sebuah batu apung yang ada di tengah teluk. Saat melihat batu apung itu leluhurnya berjanji: “Apabila saya sekeluarga mendapatkan rejeki dari hasil jerih payah saya dan cukup untuk menjalani hidup sehari-hari saya akan nuntun IDA ke daratan”. Semenjak itu leluhurnya diberikan rejeki yang cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya sehari-hari.
Leluhurnya tidak lupa menebus janji yang diucapkan pada saat itu. Leluhurnya mencari batu apung yang selalu mengapung di tengah teluk itu, lalu menuntun batu apung tersebut yang kira-kira besarnya sebesar dulang, yang dipercaya merupakan bagian dari Pura Karang Tengah, dituntun ke darat dan dibuatkan pelinggih di bucu kaja kauh (pojok utara barat) Desa Tanjung Benoa.
Semenjak itu aktifitas keagamaan yang ada kaitannya dengan Pura Karang Tengah dilakukan oleh warga dan keluarga nelayan tersebut di pelinggih penyawangan di bucu kaja kauh (pojok utara barat) Desa Tanjung Benoa.
Beberapa tahun kemuadian, IDA kembali dituntun ke lokasi yang lebih layak untuk dibangun pura, dimana lokasi tersebut merupakan lokasi Pura Gaing-Gaing sekarang. Batu apung yang yang dipercaya merupakan bagian dari Pura Karang Tengah tersebut dijadikan dasar pelinggih utama yang ada di Pura Gaing-Ging.
'Upakara dan piodalan Pura Gaing-Gaing'
Piodalan di pura ini dilakukan setiap 6 (enam) bulan sekali yang bertepatan pada reraihinan Tumpek Landep.
Upakara pura ini seperti pada umumnya pura di Bali. Odalan Ida Sasuhunan (dewata) Pura Dalem Karang Tengah yang distana atau dipuja di Pura Gaing-Gaing dimulai dengan melaksanakan pemelastian di Segara. Pemelastian dilakukan di pantai ujung bagian utara barat Desa Tanjung Benoa yang merupakan tempat / pelinggih pertama IDA sebelum direlokasi.
Ketika pariwisata bahari yang mulai dikembangkan di Desa Tanjung Benoa, keberadaan pelinggih dan tempat pemelastian ini mulai terhimpit dari fasilitas-faslitas pokok dan pendukung pariwisata tersebut. Adanya Pertamina yang sangat dekat dengan keberadaan pelinggih dan tempat pemelastian, dirasakan mengganggu aktifitas keagamaan yang dilakukan di tempat tersebut. Semenjak itu aktifitas keagamaan (melasti) dipindah ke sisi pantai bagian timur dekat dengan keberadaananya Konco dan Pura Beji. Pemindahan tersebut dilakukan dengan terlebih dahulu meminta petunjuk IDA (nunas baos) untuk memindahkan tempat pemelastian ke sisi pantai sebelah timur Desa Tanjung Benoa.
Pura Gaing-Gaing awalnya diempon oleh 21 KK (Kepala Keluarga) yang merupakan satu keluarga dari keturunan 1 (satu) kakek – mereka adalah pengempon arep – ditambah oleh para pemedek dan warga lainnya. Para pengempon lainnya terdiri dari para pengempon Pura Dalem Kerobokan, Pura Dalem Sakti serta Pura Segara Batulumbang ikut ngiring (sembahyang dan mengampu) Pura Gaing-Gaing.
'Peran dan fungsi Pura Gaing-Gaing'
Selain berfungsi sebagai penyawangan (memuja dari jauh) untuk nunas kerahayuan (memohon keselamatan) Ida Sasuhunan (dewata) Pura Dalem Karang Tengah yang berada di tengah Teluk Benoa, Pura Gaing-Gaing ini berfungsi secara unik sebagai tempat nunas Sadeg dan nunas tamba (Matetamba=berobat), serta nunas panugrahan (meminta anugrah khusus) terutama bagi kalangan balian atau dukun.
Jika masyarakat di sekitar Teluk Benoa mengalami musibah di sekitar Teluk Benoa, mereka akan meminta bimbingan dan lindungan. Beberapa masyarakat khususnya nelayan yang mengalami masalah pada usahanya, seperti kapal yang karam, sering kali meminta petunjuk dan menghaturkan sesaji di Pura Gaing-Gaing. Banyak warga yang mengalami musibah bersaksi bahwa setelah sembahyang dalam maksimal 3 (tiga) hari setelah menghaturkan sesaji tersebut kapal mereka kembali bisa berlayar seperti biasa.
'Ida Sasuhunan (dewata) dijaga seisi hutan'
Dahulu ada taru ageng (pohon Ketapang) berdiri di dalam di Pura Gaing-Gaing. Situasi pura pada saat pohon besar itu masih ada konon suasananya terasa sedikit seram, banyak pemedek yang ingin menghaturkan bakti di pura tersebut merasa ketakutan. Masyarakat mengadakan paruman (rapat) untuk menebang pohon tersebut. Potong itupun ditebang. Setelah 3 (tiga) hari penebang pohon besar itu salah satu tukang tebang pohon tersebut meninggal dunia.
Menurut kepercayaan warga, ancangan (mahluk gaib penjaga) Ida Sasuhunan yang ada di Pura Gaing-Gaing adalah seisin alas (kekuatan seisi hutan). Macan Gading adalah salah satu ancangan (mahluk gaib penjaga) Ida Sasuhunan yang ada di Pura Gaing-Gaing.
'Kegaiban Pura Dalem Karang Tengah dan Pelindung Teluk Benoa'
Cerita-cerita yang beredar di kalangan masyarakat Tanjung Benoa, khususnya di kalangan warga yang berada di pesisir teluk, mengatakan bahwa, “Apabila ada orang yang melihat secara kebetulan, ataupun yang memiliki indra keenam, pada saat piodalan (dedinan) Ida Sesuhunan yang melingga-melinggih (berstana-berkedudukan) di Pura Karang Tengah, yang bertepatan pada Tumpek Landep, maka di sekitar Pura Karang Tengah yang ada di tengah Teluk tersebut akan terdengar dan terlihat suasana (aktifitas) upacara seperti piodalan di pura-pura pada umumnya, seperti terdengar suara metajen, lelotek, kober (yang merupakan sarana pendukung upakara), ikan besar, penyu gaib bersisik, serta keberadaan dan kondisi pura gaib tersebut akan terlihat jelas.
Banyak warga dan tokoh spiritual meyakini bahwa kunci pintu wilayah Kuta Selatan ada di Pura Karang Tengah.
Di tengah Teluk Benoa disamping dipercaya melinggih Ida Sasuhunan, juga dipercaya terdapat 2 (dua) buah kapal besar gaib, besarnya seluas desa Tanjung Benoa. Dipercaya kalau terjadi sesuatu atau perubahan alam yang dilakukan secara sengaja demi keuntungan yang diperoleh untuk kelompok tertentu atau perseorangan (pribadi), maka 2 kapal tersebut akan menghalang dan menghadang kegiatan tersebut. Jika kapal gaib itu bergerak, energi laut dan dasar laut akan tergerak, memunculkan berbagai gejala sekala-niskala.
Jero Mangku Ketut Arsana yang merupakan pemangku di Pura Gaing-gaing mengaku pernah melihat dan masuk ke salah satu kapal tersebut dan beliau kenal dengan penghuni yang ada di dalam 2 kapal gaib tersebut. 2 (dua) Kapal yang dimaksud merupakan kapal gaib berhubungan dengan kekuatan gaib yang menjaga Teluk Benoa. (sumber; laman fb gede pasek suardika)





Tidak ada komentar:

Posting Komentar